Referral Banners

Kamis, 19 November 2015

Demokratisasi Warga Dalam Pelaksanaan UU Desa

Oleh : Zainul Fikri
(Masyarakat Desa Sapit Kecamatan Suela Kabupaten Lombok Timur)
Semangat yang terkandung dalam UU No 6/2014 tentang Desa menjadi harapan solusi permasalahan utama masyarakat desa khususnya dan yang membelit bangsa umumnya. Optimisme pembangunan dari desa menyeruak kepermukaan dan menjadi tema pembicaraan dan pemberitaan di media cetak, elektronik, dan media sosial lainnya. Namun ikut menyeruak ke permukaan, kekhawatiran juga muncul akan tumbuhnya “raja-raja” kecil dan aktor-aktor korupsi yang baru di desa. Kekhawatiran ini muncul berlandaskan besarnya kewenangan desa
karena asas rekognisi dan subsidiaritas. Kewenangan yang besar bagi desa melalui asas ini membuat posisi desa memiliki hubungan yang setara dengan negara. Desa bukan lagi pemerintah semu yang menjadi katalisator proyek ataupun wilayah administratif belaka, tetapi desa memiliki otonomi dalam mengelola kebijakan pembangunan.(Ahan Syahrul Arifin). Optimisme dan kekhawatiran tersebut tidaklah berlebihan, namun jangan sampai menyurutkan peluang untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat dari penerapan UU Desa yang baru ini.


Pada titik ini penting untuk membangun demokrasi ala desa sebagaimana disebut oleh Bapak Proklamator Indonesia Mohammad Hatta berpedoman pada : rapat, mufakat, gotong royong, hak mengadakan protes bersama, dan hak menyingkir dari daerah. Selain itu, Menurut Hatta tradisi gotong-royong dan musyawarah sebagai ikon demokrasi asli Nusantara juga harus dihidupkan. Demokrasi desa menjadi simpul penting bagi rakyat untuk mengakses sumber daya negara yang dikelola desa karena kewenangan dalam asas rekognisi dan subsidiaritas. UU No 6/2014 memuat prinsip-prinsip dasar tentang pengelolaan desa yang bersifat strategis yakni melalui mekanisme musyawarah yang tidak hanya melibatkan Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD), tetapi juga melibatkan tokoh masyarakat. Perencanaan pembangunan desa juga wajib dilakukan melalui musyawarah perencanaan pembangunan desa (Pasal 54, pasal 80 Ayat 2)


Asas rekognisi dan subsidiaritas memang memberi kuasa yang begitu absolut bagi desa, namun, apabila ditilik lebih dalam, UU juga memberi ruang check and balances seimbang agar pemerintah/Kepala Desa tidak semena-mena dalam mengatur / mengelola. Peranan pengimbang tersebut lahir dari fungsi BPD. Kehadiran BPD berawal dari kritikan atas peran LMD yang seharusnya sebagai lembaga kontrol dan penyalur aspirasi masyarakat, tetapi dalam kenyataanya hanya menjadi alat legitimasi dan justifikasi Kepala Desa. Terkooptasinya LMD karena posisi ketua dan sekretaris LMD bahkan dijabat oleh kepala desa dan sekretaris desa (ex officio), anggotaanya ditunjuk Kepala Desa, pertanggungjawaban kepada Kepala Desa. Sehingga institusi LMD tidak bisa menjadi alat kontrol yang efektif terhadap kinerja pemerintahan desa. Alhasil muncul kemudian adalah konsep asal bapak senang. (IRE-Ford Foundation : 2001)


Berdasakan UU No 32/1999 sebagaimana telah dirubah dengan UU No 6/2014, LMD digantikan BPD yang menjadi semacam badan legislatif di desa. Pemilihan anggota BPD dilakukan secara demokratis oleh masyarakat dan sekaligus mewakili masyarakat kedusunan. Untuk menjaga eksistensinya, UU mengatur bahwa anggota BPD tidak boleh mengerjakan proyek, dilarang terlibat langsung dalam penyelanggaraan pemerintahan. BPD diberi tugas dan wewenang mengatur musyawarah desa, pengawas, dan pengontrol terhadap pemerintahan desa. Selain itu, BPD juga memiliki kewenangan mengawasi dan minta keterangan penyelenggaraan desa (Pasal 61). Atas perannya inilah, fungsi BPD sangat krusial dalam menumbuhkan demokratisasi.


Aktor lain dalam mendorong, menggerakkan demokratisasi desa adalah masyarakat, baik dengan sendiri-sendiri maupun berkelompok ikut secara langsung dalam merumuskan perencanaan sampai lahirnya kebijakan. Keikutsertaaan masyarakat ini lazim disebut dengan Partisipasi yang merupakan salah satu aspek penting dalam demokrasi. Asumsi yang mendasari demokrasi (partisipasi) merupakan orang yang paling tahu tentang apa yang baik bagi dirinya adalah orang itu sendiri. Karena keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan mempengaruhi kehidupan masyarakat, karenanya berhak ikut serta menentukan isi keputusan yang mempengaruhi hidupnya.


Wahyudi Kumorotomo dalam bukunya Etika Administrasi Negara mengatakan bahwa Partisipasi warga Negara umumnya dibedakan menjadi empat macam, yaitu : pertama, partisipasi dalam pemilihan (electoral participation), kedua, partisipasi kelompok (group participation), ketiga, kontak antara warga negara dengan warga pemerintah (citizen government contacting) dan keempat, partisipasi warga negara secara langsung. Samuel P. Hutington dan Joan Nelson dalam No Easy Choice : Political participation in developing : “Partisipasi adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah, partisipasi bisa bersifat pribadi-pribadi atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif. Sedangkan Ramlan Surbakti mendefinisikan, partisipasi politik adalah kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi pembuatan dan pelaksanaan kebijakan umum dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintah.


Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan partisipasi politik adalah keterlibatan warga negara baik secara individu maupun kelompok dalam proses politik yang berupa kegiatan yang positif dan dapat juga yang negative, bertujuan untuk berpatispasi aktif dalam kehidupan politik dalam rangka mempengaruhi kebijakan pemerintah. Dengan kata lain, bahwa partisipasi masyaakat tidak hanya dalam bentuk melaksanakan dan mensukseskan sebuah program, namun partisipasi masyarakat dalam perencanaan, perumusan sampai kepada menjadi sebuah keputusan; Masyarakat desa berhak mendapat informasi mengenai rencana dan pelaksanaan pembangunan; masyarakat desa berhak melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan pembangunan desa (Pasal 82). Agar penentuan skala prioritas program berlandaskan kebutuhan mendesak dan strategis masyarakat bukan hanya untuk menghabiskan program (uang) belaka. Hak masyarakat ini berkonsekuensi pada kewajiban Pemerintahan Desa untuk melaksanakan. Bahkan secara tegas, seluruh aktivitas desa wajib disampaikan kepada publik melalui sistem informasi desa (Pasal 86). Memberikan dan/atau menyebarkan informasi penyelenggaraan pemerintahan kepada masyarakat Desa dilakukan secara tertulis (Pasal 27).


Fenomena terjadinya kritik masyarakat yang berujung pada demonstrasi di beberapa desa terhadap pemertiah desanya tentu menarik untuk diperhatikan oleh semua pihak khususnya para pemangku kebijakan (Pemda, Pemkec, dan Pemdes). Fenomena ini harus dimaknakan sebagai salah satu bentuk partisipasi aktif masyarakat atas berbagai persoalan yang melatar belakangi sesuai dengan keadaan desanya. Ada yang mengusung isue transparansi, partisipasi, diskriminasi, desa yang otoriter, asusila, pendidikan, air bersih, irigasi, dan lainnya. Bahkan tidak sedikit yang berbau isue korupsi yang berdampak pada pindahnya domisili Kepala Desa di rumah binaan negara.


Demokratisasi Desa, ungkapan yang tidak cukup ditulis dalam beberapa lembar ataupun beberapa halaman buku. Tidak hanya cukup dengan menggelar sosialisasi rutinitas, tidak cukup dengan menggelar dialog, atau seromonial lainnya, tidak cukup, karena Demokratisasi berdinamika dengan gerak kehidupan. Namun paling tidak, diperlukan itikad dan komitmen untuk merumuskan aturan yang tepat, pelaksana yang jelas, dan sarana yang memadai untuk melaksanakan. Semoga saja.

Sumber : suarakomunitas.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar